Beda Iblis dan Manusia dalam Ilmu dan Amal

admin

Oleh Tgk Mustafa Husen Woyla

Ketua DPP ISAD dan Wakil Pimpinan Dayah Abu Krueng Kalee

Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan hidup manusia. Dalam Islam, ilmu tidak hanya menjadi sarana untuk memahami dunia, tetapi juga sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Namun, apakah ilmu semata cukup untuk menjadikan seseorang mulia di sisi Allah? Sejarah mencatat ada makhluk yang memiliki ilmu luar biasa, bahkan lebih luas dari manusia, tetapi tetap menjadi makhluk yang terkutuk. Ia adalah Iblis. Dalam banyak riwayat, Iblis digambarkan sebagai makhluk yang memiliki pengetahuan luas tentang kitab-kitab Allah, sejarah para nabi, bahkan ibadah. Namun, semua itu tidak menjadikannya mulia, justru ia dikutuk dan dijauhkan dari rahmat Allah.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah manusia juga bisa terjerumus dalam kesalahan yang sama? Tulisan ringkas ini akan membahas sekelumit perbedaan mendasar antara Iblis dan manusia dalam aspek ilmu dan amal, serta bagaimana kita bisa mengambil pelajaran dari kisah ini.

Kewajiban Manusia terhadap Ilmu

Dalam kitabnya yang terkenal, Ta’līm al-Muta’allim-Ṭarīq at-Ta’-allum, Syaikh Burhan al-Islam al-Zarnuji menjelaskan bahwa seorang Muslim memiliki tiga kewajiban utama terhadap ilmu: menuntut ilmu, mengamalkannya, dan menyebarkannya. Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim, sebagaimana sabda Rasulullah SAW bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim. Ilmu tidak hanya untuk dipelajari, tetapi juga harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Allah berfirman dalam Al-Qur’an, mengapa seseorang mengatakan sesuatu yang tidak ia kerjakan. Setelah menuntut dan mengamalkan ilmu, seseorang juga dianjurkan untuk menyebarkannya kepada orang lain, sebagaimana sabda Rasulullah SAW bahwa seseorang harus menyampaikan ilmu walaupun hanya satu ayat.

Ketiga kewajiban ini menjadi dasar dalam memahami bagaimana seharusnya seorang Muslim memperlakukan ilmu yang ia miliki. Namun, ada satu aspek penting yang membedakan manusia yang berilmu dengan Iblis, yaitu sikap hati dalam menerima dan mengamalkan ilmu.

Iblis, Ahli Ilmu Tanpa Amal dan Tazkiyah

Iblis bukanlah makhluk yang bodoh atau tidak berilmu. Dalam berbagai sumber Islam, Iblis digambarkan sebagai makhluk yang memiliki pengetahuan luas. Jika seseorang bertanya kepadanya tentang Al-Qur’an, ia dapat menjelaskannya dengan sangat rinci karena ia mengetahui kapan ayat itu turun dan dalam konteks apa. Jika ditanya tentang hadits, Iblis bisa menerangkan sebab-sebab munculnya hadits tersebut. Bahkan, jika diminta untuk menceritakan kisah para nabi, ia dapat menyampaikannya dengan jelas karena ia telah ada sejak zaman Nabi Adam alaihi salam.

Namun, dengan semua ilmu dan ibadahnya, Iblis tetap menjadi makhluk yang terkutuk. Penyebab utamanya adalah kesombongan. Ketika Allah memerintahkan para malaikat dan Iblis untuk ‘bersujud’ kepada Adam, Iblis menolak dengan angkuh dan berkata bahwa dirinya lebih baik dari Adam, karena diciptakan dari api sementara Adam diciptakan dari tanah.

Inilah akar masalah yang menjadikan Iblis terkutuk. Ia memiliki ilmu, tetapi tidak memiliki ketundukan dan keikhlasan dalam mengamalkannya. Kesombongan telah menutup hatinya dari kebenaran.

Manusia yang Menyerupai Iblis

Iblis tidak menyerupai manusia. Justru manusia yang bisa menyerupai Iblis ketika memiliki ilmu tetapi tidak mengamalkannya, atau ketika kita merasa lebih baik dari orang lain karena ilmunya.

Ada beberapa tanda seseorang memiliki sifat seperti Iblis dalam hal ilmu dan amal. Salah satunya adalah merasa lebih pintar dan lebih benar dari orang lain, sehingga sulit menerima nasihat. Seseorang juga dapat menyerupai Iblis ketika merendahkan orang lain yang dianggap kurang ilmu atau kurang ibadah. Atau merasa diri paling abid, paling salik dan paling sufi, yang sudah wushul ilallah atau berpengalaman rohaninya dekat dengan Allah. Adapun yang lain, diklaim sibuk dengan dunia.

 Ada yang lupa bahwa Allah menilai seseorang bukan dari banyaknya ilmu atau ibadah, tetapi dari akhlak, walaupun ilmu se-langit, hati tetap se-bumi. Itu baru insan kamil.

Selain itu, seseorang bisa lebih banyak menilai kesalahan orang lain dibanding memperbaiki diri sendiri. Orang yang selalu mencari kesalahan orang lain, tetapi lupa bercermin pada dirinya sendiri, jika demikian, hakikatnya sama dengan iblis dalam wujud manusia.

Lebih lanjut, lidah yang tajam dalam menasihati orang lain tetapi lalai terhadap dirinya sendiri juga merupakan tanda keserupaan dengan Iblis. Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an, mengapa seseorang menyuruh orang lain berbuat kebaikan tetapi melupakan dirinya sendiri. Banyak bicara soal agama tetapi tidak mengamalkannya juga menjadi bahaya tersendiri.

Ada yang memiliki banyak dalil dan argumen, tetapi tidak ada ketundukan dalam hati. Lebih jauh, seseorang yang merasa lebih suci dan lebih baik dibanding orang lain juga berisiko terjerumus dalam sikap seperti Iblis. Allah memperingatkan agar manusia tidak merasa diri suci atau sufi, karena hanya Allah yang mengetahui siapa yang paling bertakwa.

Orang-orang dengan sifat seperti ini tidak menyadari bahwa ia sedang berjalan di jalan yang sama dengan Iblis. Ilmu yang seharusnya membawa mendekat kepada Allah justru menjadikan sombong.

Ilmu Tidak Menjamin Keselamatan

Dari kisah Iblis, kita belajar bahwa ilmu saja tidak cukup untuk menjadikan seseorang mulia di sisi Allah. Yang membedakan manusia dari Iblis bukanlah ilmu, tetapi ketakwaan, keikhlasan, dan rendah hati. Allah berfirman bahwa yang paling mulia di antara manusia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.

Ketakwaan inilah yang menjadikan seseorang lebih baik di sisi Allah, bukan sekadar banyaknya ilmu atau ibadah atau merasa diri ahli makrifah. Bahkan, Rasulullah SAW mengajarkan doa yang mencerminkan pentingnya keseimbangan antara ilmu dan ketakwaan. Dalam haditsnya, beliau berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, jiwa yang tidak pernah merasa puas, dan doa yang tidak dikabulkan.

Doa ini mengingatkan bahwa ilmu harus diiringi dengan kekhusyukan hati dan ketulusan dalam mengamalkannya.

Simpul kata,

Dalam Islam, ilmu memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Namun, ilmu yang tidak diamalkan dan tidak dibarengi dengan ketakwaan serta budi luhur, justru bisa menjadi sebab kehancuran seseorang. Iblis adalah contoh nyata bagaimana ilmu tanpa ketundukan kepada Allah bisa membawa pada kesesatan.

Sebagai manusia, kita harus berhati-hati agar tidak terjerumus dalam kesalahan yang sama. Ilmu harus menjadikan kita semakin rendah hati, semakin dekat dengan Allah, dan semakin peduli kepada sesama.

Sebelum menilai orang lain, mari kita bertanya pada diri sendiri. Apakah ilmu yang kita miliki membuat kita lebih taat kepada Allah? Ataukah justru menjadikan kita sombong seperti Iblis?

Semoga Allah selalu membimbing kita agar memiliki ilmu yang bermanfaat, hati yang bersih, dan amal yang diterima.

Penulis adalah Alfaqir ilallah, Ketum DPP ISAD, Pengamat Bumoe Singet dan Wakil Pimpinan Dayah Darul Ihsan Abu Krueng Kalee. (risalahbuyawoyla@gmail.com)

Also Read

Tags