#Refleksi Haul Abon Aziz Ke-37
Oleh Tgk Mustafa Woyla*
Malam itu, Dayah MUDI Mesra di Samalanga seperti menyala, bukan oleh lampu atau obor, tetapi oleh ingatan kolektif. Ribuan alumni, ulama, pejabat, dan masyarakat berkumpul dengan satu tujuan, yakni mengenang Abon Aziz.
Hari itu adalah haul ke-37 ulama besar Aceh ini, yang bukan hanya sekadar mengenang, melainkan juga meneruskan jejaknya.
• Ada Podcast, Anugerah Kehormatan, dan Pesan Abon.
Malam itu dimulai dengan podcast yang menghadirkan Waled Nu, Ayah Keutapang, dan Abu Mudi. Judulnya sederhana tetapi penuh makna: “Melestarikan Tradisi Beut Seumeubeut demi Masa Depan Gemilang.”
Terlihat Abu Mudi sedikit membuat joke ringan, ketika membuka podcast tersebut dengan candaan kepada Prof Dr Muntasir. Yang juga menantunya.
Dalam kata penghormatan, yang kita hormati Professor sebagai pemandu acara.
Suasana langsung pecah, oleh sambutan hangat para hadirin.
Lanjut Abu, ” Nyan yang ka na lhee es, beubagah ju. sambil menunjuk salah satu orang di samping kanan saya, yang tak lain adalah Putra Abu yang saat ini menjabat sebagai Rektor Universitas Islam Al-Aziziyah Indonesia (UNISAI). Yakni Dr. Tgk. Muhammad Abrar Azizi, M.Sos, Hal itu Abu maksud memotivasi untuk segera meraih gelar profesor. Dan Kebetulan di samping kiri saya juga Guru Besar, Yakni Prof Dr Syamsul Rijal.
Abu Mudi tak jarang menciptakan suasana cair, tetapi tetap sarat makna. Dalam podcast itu, Abu mengingatkan, “Beut semeubeut. Hana mesti peudong dayah,” yang berarti belajar dan mengajar tak perlu syarat bangun dayah. Selama ada guru dan murid, itu sudah cukup realisasi untuk beut-seumeubuet.
Setelah podcast, ada penyerahan piagam penghargaan untuk Abon Aziz dan Abu Mudi. Gelar kehormatan itu disebut Fadhilatu Syaikh, yang artinya Guru Besar Dayah Aceh. Oleh Keluarga Besar DPP Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh.
Untuk Abon Aziz, ia disebut pencetak ulama terbanyak abad ini, sementara Abu Mudi dianggap sebagai ulama inovatif yang menjaga tradisi lama sambil membuka jalan baru. Kedua penghargaan itu diterima oleh Abu Mudi dengan ketulusan seperti biasanya.
• Shamadiyah, Khenduri, dan Silaturahmi
Selanjutnya, Shamadiyah atau doa bersama menjadi jantung acara haul ini. Di sana, setiap tamu larut dalam doa dan ingatan, bukan hanya tentang Abon Aziz, tetapi juga tentang apa yang ia tinggalkan.
Kemudian, acara berlanjut dengan khenduri, yang bukan sekadar makan bersama, melainkan juga momen temu ramah. Alumni senior seperti Ayah Cot Trung dan Abu Sibreh turut hadir, dan para tamu berbincang ringan sambil berbagi cerita.
Nuansa keakraban dan ta’dhim terhadap guru terasa di setiap sudut, menghadirkan rasa rindu dan penghormatan yang mendalam.
• Abon: Muallim dan Murabbi
Waled Nu mengisahkan hal menarik tentang Abon Aziz, yaitu bagaimana ia menerapkan kelas-kelas seperti Abuya Muda Wali. “Bukan hanya mengajarkan kitab,” katanya, “tetapi juga melatih khatib dan dai secara langsung.”
Hal inilah yang membuat Abon bukan hanya seorang muallim (pengajar), tetapi juga seorang murabbi (pendidik jiwa).
Abon juga dikenal disiplin, rajin membaca Al-Qur’an, shalat berjamaah, dan berdakwah dengan perbuatan. Ayah Keutapang menambahkan, “Beliau sangat fokus pada beut seumeubeut,” yang berarti konsistensi dalam mengajar dan belajar.
• Refleksi Haul
Dua sosok besar, dua gelar kehormatan, satu warisan abadi. Abon Aziz dan Abu Mudi adalah simbol dua generasi ulama Aceh yang tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga memastikan relevansinya di era modern. Haul ke-37 ini menjadi momen penting untuk mengingat bahwa ilmu bukanlah milik masa lalu, tetapi warisan yang harus terus diperbarui dan disebarluaskan.
Di Dayah MUDI Mesra, Samalanga, semalam, sejarah berbicara melalui penghormatan dan keteladanan. Bukan sekadar mengenang, tetapi juga menghidupkan kembali semangat yang diwariskan.
Abon Aziz telah berpulang kehadirat Allah tetapi ilmunya, muridnya, dan dayahnya akan terus hidup. Ia telah menanamkan pelajaran penting bagi kita:
“Selama ada tempat belajar, belajarlah. Selama ada murid, ajarlah.”
Hidup bukan hanya tentang menjalani hari, tetapi juga meninggalkan jejak. Abon telah melakukannya dengan begitu sempurna: mewariskan samudra ilmu yang tak pernah kering.
Kini, giliran kita. Mampukah kita menjadi penerus yang menjaga, merawat, dan mengembangkan warisan itu? Karena pada akhirnya, hidup di dunia ini bukan hanya soal diri sendiri, tetapi tentang memberi makna bagi orang lain.
Abon telah memberi makna. Bagaimana dengan kita?
*Penulis adalah Ketua DPP ISAD