Sertifikasi Gelar Teungku, Menata Kehormatan dengan Kelayakan dan Integritas

admin

Oleh Tgk Burhanuddin, S.Pd.I., MA*

Masalah penggunaan gelar Teungku di Aceh telah lama menjadi perbincangan di kalangan masyarakat. Gelar ini bukan sekadar penanda status sosial, tetapi juga simbol kehormatan yang mencerminkan kompetensi dan integritas seseorang dalam bidang agama. Namun belakangan, kita mulai menyaksikan banyaknya orang yang menyandang gelar Teungku tanpa layak, dan ini tentu memprihatinkan. Gelar ini, yang seharusnya dihargai dan dilestarikan, kini semakin marak disalahgunakan. Penyalahgunaan gelar ini terutama tanpa ada standarisasi yang jelas dapat merusak makna asli dari Teungku itu sendiri.

Sebagai seorang yang lahir dan besar di Aceh, saya sering bertanya dalam hati, “Apakah kita telah salah memberikan penghormatan?” Di Aceh, gelar Teungku seharusnya diberikan kepada mereka yang benar-benar berkompeten dan berintegritas. Namun kenyataan yang ada saat ini, justru menunjukkan bahwa siapa saja bisa menjadi Teungku, bahkan tanpa kualifikasi yang memadai. Inilah yang perlu kita bahas lebih dalam: bagaimana kita bisa kembali menata gelar ini agar tidak kehilangan makna dan tetap dihargai.

Sejak dulu, gelar Teungku di Aceh adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada para ulama, pemuka agama, atau siapa saja yang dianggap memiliki pengetahuan agama yang mendalam. Namun, seiring berjalannya waktu, penggunaan gelar ini mulai berkembang dan meluas. Banyak orang yang kini memanggil diri mereka Teungku, meskipun mereka tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup. Bahkan, ada juga yang menggunakan gelar ini untuk kepentingan politik atau sosial.

Di masa lalu, untuk mendapatkan gelar Teungku, seseorang harus melalui pendidikan agama yang serius. Mereka harus menguasai ilmu Aqidah, fikih dan tasawuf serta ilmu agama lainnya. Tetapi kini, gelar tersebut tampaknya lebih mudah didapatkan. Dalam kondisi seperti ini, penting untuk kembali mengingatkan diri kita: “Apa tujuan utama pemberian gelar ini?”

Unsur yang Harus Dinilai dalam Pemberian Gelar Teungku

Sebagai langkah pertama, penting untuk menilai kelayakan seseorang sebelum menyandang gelar Teungku. Dalam hal ini, kita bisa menggunakan kriteria yang lebih terukur dan sistematis. Setidaknya, kita dapat melihat kualifikasi seseorang berdasarkan beberapa unsur penting.

  • Teungku Sagoe dan Teungku Balee: Gelar ini harus diberikan kepada seseorang yang sudah memenuhi syarat dasar dalam ilmu agama. Mereka harus bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar, serta menguasai ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah. Seseorang yang sudah memenuhi kualifikasi ini dapat dianggap layak menjadi Teungku Sagoe atau Teungku balee.
  • Teungku Muda: Mereka yang menyandang gelar ini harus memiliki kemampuan di luar syarat-syarat utama. Seorang Teungku Muda harus menguasai ilmu keislaman pada tingkat fardhu kifayah. Ini berarti mereka harus mampu menyampaikan dakwah agama kepada umat, serta memiliki keterampilan dalam memecahkan masalah keagamaan yang tidak terlalu rumit.
  • Teungku Chiek: Gelar ini hanya layak disandang oleh mereka yang sudah berpengalaman dalam mengelola Dayah (lembaga pendidikan agama) dan memiliki pengaruh besar di kalangan masyarakat. Teungku Chiek adalah pemimpin bagi para Teungku Muda. Mereka tidak hanya memiliki pengetahuan agama yang mendalam, tetapi juga mampu memimpin, mengayomi, dan mengajarkan ribuan murid. Seorang Teungku Chiek juga harus memiliki pengaruh yang luas di masyarakat dan dikenal karena kontribusinya yang besar dalam memajukan pendidikan agama di Aceh. Inilah yang layak dipanggil, Abuya, Abu, Teungku Cheik, Waled, Ayah dan sejumlah laqab/kunyah lainnya.

Dengan adanya penilaian yang jelas seperti ini, gelar Teungku dan pasca teungku tidak diberikan berdasarkan status sosial atau keturunan, tetapi lebih pada kualitas dan kompetensi yang dimiliki oleh seseorang.

Pengaruh Politik dan Sosial terhadap Penggunaan Gelar.

Masalah penyalahgunaan gelar ini juga tidak lepas dari faktor politik dan sosial. Kita harus ingat bahwa pada masa konflik GAM-RI, penggunaan gelar Teungku semakin dimuliakan. Di masa itu, gelar Teungku menjadi simbol yang sangat dihormati, karena di mata masyarakat Aceh yang religius, gelar ini memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Seringkali, gelar ini digunakan sebagai alat untuk meraih dukungan dan simpati dari masyarakat.

Namun, setelah perdamaian Aceh, penggunaan gelar Teungku semakin meluas, bahkan oleh orang-orang yang sebelumnya tidak memiliki latar belakang agama yang cukup. Penggunaan gelar ini kian tergerus oleh kepentingan sosial dan politik. Misalnya, kita sering mendengar nama-nama seperti Teungku Juah atau Teungku Geulanteu yang sebenarnya tidak memenuhi kualifikasi untuk menyandang gelar tersebut. Hal ini tentu mengundang kebingungan dan keraguan di kalangan masyarakat.

Mewujudkan Sistem Sertifikasi Gelar Teungku

Untuk mengatasi masalah ini, sudah saatnya kita mengadopsi sistem sertifikasi gelar Teungku atau Pasca Teungku. Sertifikasi ini dapat memastikan bahwa hanya mereka yang memenuhi kualifikasi tertentu yang berhak menyandang gelar tersebut. Proses sertifikasi ini akan melibatkan berbagai lembaga yang berkompeten, seperti MPU, Dinas Dayah, Kanwil Kemenag, dan lembaga pendidikan agama yang terpercaya. Dengan begitu, kita dapat menghindari pemberian gelar kepada mereka yang tidak memiliki kompetensi yang memadai.

Dalam proses sertifikasi ini, kita tidak hanya melihat kemampuan seseorang dalam ilmu agama, tetapi juga integritas dan moralitas mereka. Seorang Teungku yang baik adalah orang yang tidak hanya cakap dalam beragama, tetapi juga menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, sertifikasi gelar ini harus memperhitungkan semua aspek yang relevan, agar gelar Teungku benar-benar menjadi simbol kehormatan yang pantas disandang.

Memperbaiki Penggunaan Gelar pasca teungku di Kalangan Alumni Dayah

Di sisi lain, gelar pasca Teungku yang semakin meluas di kalangan alumni Dayah juga memunculkan tantangan baru. Kini, kita sering mendengar nama-nama seperti Abuya, Waled, atau Abiya yang sering dipakai oleh alumni Dayah. Gelar-gelar ini, yang awalnya hanya digunakan dalam keluarga, kini telah menjadi panggilan umum yang dianggap terhormat. Namun, apakah mereka yang memakai gelar ini benar-benar layak?

Masalah ini bukanlah hal yang sepele. Jika gelar-gelar ini diberikan tanpa pertimbangan yang matang, maka bisa saja terjadi penurunan makna dari gelar tersebut. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan civitas dayah untuk kembali menilai penggunaan gelar ini dengan bijaksana dan berdasarkan kualifikasi yang jelas. Gelar kehormatan harus diberikan kepada mereka yang benar-benar memenuhi kualifikasi dan pantas menerimanya.

Pada akhirnya, gelar Teungku dan Pasca Teungku harus diberikan berdasarkan kelayakan dan kompetensi, bukan untuk kepentingan pristise. Sistem sertifikasi yang jelas perlu diterapkan untuk memastikan gelar ini tetap menjadi simbol kehormatan yang dihargai. Gelar Teungku seharusnya mencerminkan kualitas, integritas, dan pengabdian yang tulus, bukan sekadar status sosial. Dengan langkah yang sistematis, kita dapat menjaga agar gelar ini tetap memiliki makna mendalam dan dihargai di masa depan, memberikan manfaat nyata bagi masyarakat Aceh dan umat Islam secara umum, serta memastikan bahwa hanya yang berkompeten yang disematkan. Saran, “Wadha’ asy-syai’ fi maqamihi” Letakkan sesuatu pada maqam/tempatnya. Insya Allah hana ikhem gob.


*Penulis adalah Pengurus Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh

Also Read

Tags