Selusin Budaya Luhur Bungong Lam Oen Perempuan Aceh Telah Tabu dan Tabeu

admin

Oleh Tgk Mustafa Husen Woyla*

Budaya tradisional Aceh, dengan segala keindahan dan keunikan adatnya, telah lama mengatur kehidupan masyarakat, khususnya perempuan, melalui berbagai larangan dan pantangan. Aturan-aturan ini bertujuan menjaga kehormatan, kesopanan, dan kesucian, mencerminkan betapa pentingnya nilai-nilai luhur dalam masyarakat Aceh. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak dari aturan ini yang kini tampak sebagai tabu dan tabeu, seolah-olah terpinggirkan oleh arus perubahan yang tak terhindarkan.

Dalam budaya Aceh yang kaya dengan nilai-nilai Islami, terdapat larangan-larangan khusus untuk perempuan, terutama anak gadis. Salah satu larangan utama adalah dilarangnya anak gadis bepergian pada malam hari. Larangan ini bukan hanya sebuah aturan, melainkan bentuk perlindungan terhadap keselamatan dan potensi risiko yang mungkin dihadapi oleh gadis-gadis muda saat malam hari. Pada masa lalu, malam hari sering dianggap penuh bahaya, dan larangan ini berfungsi sebagai langkah preventif untuk melindungi mereka.

Larangan memanjat pohon adalah contoh lain dari aturan yang mengatur kehidupan gadis Aceh. Tindakan ini dianggap dapat merusak kehormatan seorang gadis, menciptakan pandangan negatif tentangnya. Ini mencerminkan betapa seriusnya masyarakat Aceh dalam menjaga citra diri dan kehormatan. Selain itu, larangan duduk dalam posisi “ngangkang” juga merupakan bagian dari upaya menjaga agar perempuan tidak terlihat menyerupai laki-laki. Aturan ini berlaku baik untuk gadis maupun perempuan yang sudah menikah, menegaskan pentingnya sikap sopan dalam pergaulan.

Larangan dikunjungi pacar di rumah adalah bagian dari adat Aceh yang lebih luas. Dalam budaya ini, hubungan yang serius seharusnya dimulai dengan pinangan dan pertunangan, bukan dengan kunjungan pacar. Larangan ini melindungi gadis dari situasi yang dianggap melanggar adat, menjaga agar hubungan tetap dalam batas sopan santun. Hal ini mencerminkan nilai-nilai konservatif yang mengutamakan jarak sosial sebelum pernikahan.

Larangan berboncengan dengan laki-laki yang bukan suami juga merupakan upaya untuk menjaga kesopanan dan menghindari prasangka buruk. Larangan ini mencerminkan kekhawatiran terhadap pandangan masyarakat yang dapat timbul dari interaksi semacam itu. Selain itu, larangan perempuan mengenakan celana tanpa penutup hingga lutut pernah diterapkan untuk menjaga agar perempuan tidak terlihat menyerupai laki-laki, berfungsi sebagai upaya untuk mempertahankan citra feminin dalam berpakaian.

Tradisi Aceh juga melarang perempuan berkumpul dan bercengkrama dengan laki-laki yang bukan mahram, terutama di tempat-tempat seperti warung kopi. Pada masa lalu, warung kopi sering menjadi tempat berkumpulnya laki-laki, merokok, atau minum nira, dan larangan ini mencerminkan batasan sosial yang ketat antara pria dan wanita. Larangan ini juga mencerminkan pandangan bahwa tempat-tempat tertentu sebaiknya dipisahkan untuk menjaga kesopanan.

Larangan anak dara berada di warung kopi hingga malam hari, yang dikeluarkan oleh Bupati Bireuen pada 30 Agustus 2018, menunjukkan upaya menjaga kehormatan perempuan. Larangan ini menunjukkan bahwa meskipun zaman telah berubah, masih ada usaha untuk mempertahankan nilai-nilai adat yang dianggap penting.

Larangan menyisir atau mengibas rambut di luar rumah tanpa menutup aurat adalah contoh lain dari usaha menjaga kesopanan dan mematuhi batasan aurat sesuai dengan nilai-nilai agama dan adat Aceh. Larangan ini mencerminkan kepedulian terhadap penampilan yang sopan dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

Ada juga larangan yang melarang gadis menyatakan ketertarikan pada lawan jenis secara terbuka. Larangan ini menjaga agar interaksi antara pria dan wanita tetap dalam batas-batas yang sopan dan tidak menimbulkan situasi yang dianggap melanggar adat. Budaya malu dalam budaya Aceh, yang pernah menjadi ciri khas gadis Aceh, kini semakin memudar seiring dengan perkembangan media sosial yang mengubah norma-norma sosial.

Menarik untuk dicatat bahwa gadis Aceh memiliki standar yang tinggi terkait kemampuan memasak. Dalam budaya Aceh, seorang gadis yang tidak bisa memasak dianggap sebagai kekurangan besar, karena kemampuan ini dianggap sebagai kunci berkeluarga kelak. Ini adalah aspek yang sangat dihargai dan tidak selalu dimiliki oleh gadis-gadis dari budaya lain, seperti gadis Arab. Standar ini mencerminkan betapa pentingnya keterampilan domestik dalam konteks peran sosial perempuan Aceh.

Di luar Aceh, tradisi serupa juga dapat ditemukan dalam berbagai suku di Indonesia. Menjelang pernikahan, anak perawan sering dimasukkan dalam masa pingitan. Misalnya, suku Jawa menyebut tradisi pingitan ini sebagai “Dipingit,” sementara suku Muna di Sulawesi Tenggara menyebutnya “Karia.” Suku Betawi mengenal tradisi “Dipiare,” dan suku Banjar di Kalimantan Selatan menyebutnya “Bapingit.” Suku Buton juga memiliki tradisi pingitan yang disebut “Posuo” atau “Bakurung,” dan suku Sumbawa melakukan tradisi pingitan setelah pertunangan, yang melibatkan puasa serta pantangan mandi pada hari terakhir. Setiap suku memiliki tata cara dan makna tersendiri dalam menjalankan tradisi pingitan, yang secara umum mirip dengan proses menjadi gadis Seunalop boh lam oen (pembungkus buah) dalam budaya Aceh.

Tradisi Karia di Suku Muna, Sulawesi Tenggara, adalah contoh menarik dari tradisi pingitan. Selama Karia, perempuan yang akan menikah atau remaja yang beranjak dewasa menerima nasihat untuk menjadi individu yang bermanfaat bagi lingkungan, berbakti kepada orang tua, dan memahami tanggung jawab sebagai perempuan. Dua prosesi penting dalam Karia adalah Kafoluku, yang menggambarkan kembalinya seorang anak ke rahim ibu untuk mengenali asal usul hidup, dan Kalempagi, yang menandai peralihan perempuan menjadi dewasa yang bertanggung jawab. Tradisi ini bertujuan untuk mencapai pemahaman diri yang mendalam.

Seiring dengan perubahan zaman, adat istiadat Aceh yang islami perlahan terkikis. Bencana tsunami yang menerjang Aceh pada tahun 2004 membawa gelombang bantuan internasional, memperkenalkan berbagai kebiasaan dan budaya baru ke Aceh. Pakaian, cara berkumpul antara pria dan wanita, serta kebiasaan berada di tempat-tempat umum seperti kafe hingga tengah malam mulai mengubah pola hidup masyarakat Aceh. Penetrasi teknologi, seperti smartphone, semakin mempercepat perubahan ini, memberikan akses mudah kepada generasi muda untuk melihat dan mengadopsi budaya luar, sering kali dipengaruhi oleh publik figur dan artis.

Mengembalikan identitas gadis boh lam oen (buah dalam bungkusan daun) yang budaya yang telah hilang dan tabeu (tawar) di tengah perubahan zaman merupakan tantangan besar. Meskipun beberapa aspek budaya tradisional Aceh mungkin terlihat ketinggalan zaman, mereka sebenarnya memiliki nilai dan makna yang mendalam. Salah satu cara untuk melestarikan budaya adalah dengan mengadopsi nilai-nilai luhur dari budaya lain yang masih relevan dengan prinsip-prinsip yang kita pegang. Contohnya, budaya perempuan Tarim dari Hadhramaut, Yaman, dapat menjadi inspirasi.

Wanita Tarim dikenal karena kesalehan dan kehormatan mereka. Sejak kecil, mereka dididik dalam lingkungan yang penuh ilmu, akhlak mulia, rasa malu, dan ibadah. Mereka sangat menjaga aurat dan tidak mengenal musik, dengan kehidupan sehari-hari yang dipenuhi ibadah dan dzikir. Dalam kehidupan rumah tangga, mereka dikenal taat, tidak menyusahkan suami, dan menjaga rumah dengan penuh keharuman dan ketertiban. Mereka menyelesaikan masalah dengan kelembutan dan komunikasi yang tenang, serta selalu menutup aurat dengan ketat, bahkan saat bekerja di ladang atau di bawah terik matahari. Kehidupan mereka yang penuh kesalehan dan ketertiban bisa menjadi contoh bagi masyarakat Aceh untuk menggabungkan nilai-nilai budaya lokal dengan prinsip-prinsip yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Simpul kata, meskipun banyak dari larangan budaya tradisional Aceh kini terlihat sebagai tabu dan tabeu, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam aturan-aturan tersebut masih sangat berharga. Dengan mengadaptasi dan mengharmoniskan nilai-nilai budaya lokal dengan perkembangan zaman, kita dapat menjaga identitas budaya Aceh tetap hidup dan relevan. Mengembalikan dan mempertahankan identitas budaya adalah tanggung jawab kita bersama untuk memastikan bahwa nilai-nilai luhur tetap hidup di tengah perubahan yang terus-menerus. [risalahbuyawoyla@gmail.com]

*Penulis adalah Pengamat Bumoe Singet, Ketua Umum DPP ISAD ACEH dan Wakil Pimpinan Dayah Darul Ihsan Abu Krueng Kalee

Also Read

Tags