Bijak Menyikapi Perbedaan Pendapat Dalam Islam

admin

oleh Tgk Mustafa Husen Woyla

      Menilisik ke sejarah masa silam salah satu penyebab Islam mulai terpecah-belah akibat pembunuhan khalifah Usman bin Affan oleh pembrontak yang dimotori oleh pendiri Syiah, Abdullah bin Saba’ atau Ibnu Sauda’. Ia  keturunan Yahudi yang berasal dari negeri Yaman, tepatnya dari daerah Shan’a (Ibu kota Yaman). Ia berpura-pura masuk Islam pada masa pemerintahan Utsman bin ‘Affan untuk menghancurkan Islam dari dalam.

Berbagai macam fitnah ia timbulkan. Selain  terlibat dalam pembunuhan Khalifah Utsman bin ‘Affan, juga terlibat mengobarkan fitnah pada perang Jamal antara Ali dan ‘Aisyah, dan perang Shiffin antara Ali dan Mu’awiyyah radhiallahu ‘anhum. Kemudian pada pemerintahan ‘Ali ia kembali membuat ulah dengan memunculkan satu fitnah besar yaitu mengajak manusia untuk meyakini Khalifah Ali sebagai Tuhan. Dengan sebab ulahnya itulah para Saba’iyyah ketika itu harus rela dihukum berat Khalifah Ali sendiri, orang yang mereka anggap sebagai Tuhan.  

Peran Hasan bin Abi Thalib sebagai juru damai 

Peran Hasan bin Abi Thalib sangat menentukan mendamaikan perang saudara yang sudah menelan korban jiwa yang luar biasa banyak. Untuk meredam gejolak perang ketika pasukan kedua pihak sudah siap tempur,  Hasan bin Abi Thalib menyerahkan tampuk kekhalifahan kepada Mu’awiyah dan membaiatnya untuk menegakkan kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. Maka Mu’awiyah pun memasuki Kufah, dan kaum Muslimin membaiatnya.

Dalam sejarah Islam, tahun itu disebut tahun Jama’ah; karena pada tahun itu kaum Muslimin bersatu. Semua orang yang sebelumnya menghindarkan diri dari fitnah, mereka turut membaiat Mu’awiyah, seperti Sa’id bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Muhammad bin Maslamah dan lainnya.   

Inilah bukti kebenaran isyarah nubuwah atau mukjizat Rasullulah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Sesungguhnya cucuku ini adalah sayyid. Mudah-mudahan dengannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar kaum Muslimin yang bertikai)” (HR. Bukhari)

Sikap sahabat dan ulama alsunnah waljamaah

Untuk memadamkan kobaran api perang saudara antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah, para sahabat dan ulama terdahulu senantiasa memberikan bimbingan kepada ummat agar tidak mudah terjebak dengan isu yang dimainkan oleh pihak yang senang dengan kehancuran Islam.

Berikut penulis coba rincikan bagaimana sikap para sahabat dan ulama ahlussunnah wal jamaah dalam menyakapi pertikian.

Imam al Asy’ari dalam kitab al Ibanah mengatakan: “Adapun yang terjadi antara Ali, az Zubair dan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhum adalah bersumber dari takwil dan ijtihad. Ali adalah pemimpin, sedangkan mereka semua termasuk ahli ijtihad. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjamin mereka masuk surga dan mendapat syahadah (mati syahid). Itu menunjukkan bahwa, ijtihad mereka benar. Demikian pula yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhuma, juga bersumber dari takwil dan ijtihad. Semua sahabat adalah imam dan orang-orang yang terpercaya, bukanlah orang yang dicurigai agamanya”.

Al Qadhi Iyadh berkata dalam karyanya, Syarah Shahih Muslim: “Mu’awiyah termasuk sahabat yang shalih dan termasuk sahabat yang utama. Adapun peperangan yang terjadi antara dirinya dengan Ali, dan pertumpahan darah yang terjadi di antara para sahabat, maka sebabnya adalah takwil dan ijtihad. Mereka semua berkeyakinan bahwa ijtihad mereka tepat dan benar”.

Umar bin Abdul Aziz ditanya tentang peperangan Shiffin dan Jamal, beliau berkata: “Urusan yang Allah telah menghindarkan tanganku darinya, maka aku tidak akan mencampurinya dengan lisanku!”

Cara menyikapi perbedaan pendapat di kalangan Mujtahid

Perbedaan pendapat dalam persoalan ijtihadiyah terkadang menyebabkan hubungan sesama umat Islam tidak harmonis. Padahal walau berbeda pendapat, para ulama pendiri 4 madzhab tidak mencela satu sama lain, justru mereka tidak segan-segan berguru kepada lainnya.

Mazhab Fiqh dalam Islam bukan hanya empat saja namun sampai enam belas mazhab bahkan lebih namun hanya empat yang mampu bertahan dari seleksi alam. Tergerusnya sejumlah mazhab lain akibat tidak ada sahabat (murid) yang melanjutkan atau landasannya tidak kuat sehingga pengikut dari tahun ke tahun semakin menipis bahkan sampai punah. Kendatipun banyak mazhab Fikih dimasa itu tidak menimbulkan perpecehan antar mazhab apalagi sampai terjadi pertumpahan darah yang disebabkan khilafiyah dalam ijtihadiyah.

Ada kalimat yang masyhur di kalangan para fuqaha’ (ahli fiqih) dan hampir semua imam madzhab diriwayatkan pernah mengatakan kalimat ini,

رأيي صواب ويحتمل الخطأ ورأي غيري خطأ يحتمل الصواب
 “Pendapatku benar, tapi bisa jadi salah. Dan pendapat selain ku itu salah, tapi bisa jadi benar”. 

Semua Imam mengklaim bahwa pendapatnya itu ialah yang benar, ini mesti. Karena tidak ada gunanya berijtihad dengan susah payah jika tidak meyakini apa yang sudah ia peroleh dengan hasil kerja keras. Namun dengan kerendahan hati  mereka mengatakan, bahwa pendapatnya itu benar tetapi ada kemungkinan salah, akan tetapi pendapat yang lain salah, namun ada kemungkinan benar. Tidak mutlak benar dan tidak mutlak salah. Mereka sadar bahwa kebenaran mutlak milik Allah bukan milik manusia. Esensinya antara mereka tidak ada saling menyesatkan, membid’ahkan apalagi  mensyirikkan penganut mazhab lain.

Salah satu bukti betapa tasamuh (toleransi)-nya para mujtahid tempo dulu penulis kisahkan betapa tawadhu’ Imam Syafi’i.

Salah satu imam Mujtahid yang berpendapat sunat qunut subuh adalah Imam Syafi’i.

Namun pernah terjadi ketika ia ke Baghdad, Iraq, ia bertindak sebagai imam shalat subuh tidak membaca qunut. Sepintas tampak mengkhianati buah pikirannya sendiri, karena berbeda antara apa yang difatwakan dengan apa beliau dikerjakan.

Karena penasaran para jamaah menanyakan alasan Imam Syafi’I tidak membaca qunut. Ia menjawab kita shalat di dekat makam ulama besar yang berpendapat tidak disunatkan qunut pada shalat subuh.

Ternyata Imam Syafi’i menghormati ilmu dan jerih payah pemikiran ulama lain, kendatipun sudah wafat dan berseberangan dengan pahamnya. Karena di sekitar tempat ia sembahyang bersemayam jasad mujtahid agung, Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit makruf dipanggil Imam Hanafi. 

Sikap tasamuh inilah yang sudah sirna di tengah-tengah ummat Islam baik Indonesia maupun dunia, hanya tinggal slogan saja. Itupun ketika terjepit baru keluar bertoleransi. Padahal sikap tasamuh sudah penulis jelaskan di atas. Begitu juga  diajarkan Imam Hasan al Banna lewat katanya yang sangat populer di kalangan kader dakwah “Saling bekerjasama dalam perkara yang disepakati dan saling memaafkan dalam perkara yang diperselisihkan”.

Sikap  Imam Syafi’i terhadap pendapatnya sendiri

Al-Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama yang selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berpegang teguh dengan keduanya. Beliau juga berguru kepada Imam Malik bin Anas dan Ia juga  Murid dari Muhammad bin Hasan Hanafiah di Iraq dan lain-lain baik di Iraq, Madinah dan Mesir.

Setelah rihlah ilmu yang panjang dan sudah mengantarkan Al-Imam Asy-Syafi’I sampai ke maqam Mujtahid, tidak serta merta membenarkan hasil ijtihad yang beliau yakini benar secara mutlak. Namun diharapkan kepada muridnya untuk bersikap kritis dalam menilai pendapat-pendapat yang sudah ia fatwakan.

Cukuplah karya monumental beliau, kitab Al-Umm (terkhusus pada Kitab Jima’ul Ilmi dan Kitab Ibthalul Istihsan) dan juga kitab Ar-Risalah menjadi bukti atas semua itu. Demikian pula beliau melarang dari taklid buta. Sebagaimana dalam wasiat beliau berikut ini:

 “Jika apa yang aku katakan menyelisihi hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang lebih utama, dan jangan kalian taklid kepadaku.” (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472 dan 473)

 Al-Imam Al-Muzani rahimahullahu (salah seorang murid senior Al-Imam Asy-Syafi’i) di awal kitab Mukhtashar-nya berkata: 

“Aku ringkaskan kitab ini dari ilmu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu serta dari kandungan ucapannya untuk memudahkan siapa saja yang menghendakinya, seiring dengan adanya peringatan dari beliau agar tidak bertaklid kepada beliau maupun kepada yang lainnya. Hal itu agar seseorang dapat melihat dengan jernih apa yang terbaik bagi agamanya dan lebih berhati-hati bagi dirinya.” (Dinukil dari Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/127).

Imam Malik Tolak Madzhabnya Dijadikan Madzhab Resmi

Pernah Khalifah Manshur menyatakan kepada Imam Malik, bahwa ia bertekad untuk memperbanyak Al Muwaththa’ untuk disebarkan di seluruh negeri, agar negeri-negeri itu mengikutinya dan tidak mengambil dari kitab lainnya. Namun Imam Malik menolak usulan itu, malah beliau menyarankan agar membiarkan para penduduk untuk memilih untuk diri mereka sendiri.

Di riwayat lain juga disebutkan bahwa Harun Ar Rasyid berencana menggantungkan Al Muwaththa’ di Ka’bah dan mewajibkan semua pihak untuk mengikutinya. Namun Imam Malik menolaknya, karena para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sendiri berbeda dalam furu’ sedangkan mereka menyebar di seluruh wilayah. (Al Inshaf, hal. 24-25).

Demikianlah para salaf shalih, mereka saling menghargai dalam masalah ijitihad, tidak mencela pendapat ulama lainnya, saling bekerja sama dalam ilmu, bahkan mereka enggan memaksakan madzhabnya. 

Tidak ada dalam sejarah para imam merebut pengikut mazhab lain untuk ikut ke dalam mazhabnya dengan cara berdakwah mati-matian, mencari dana untuk menyebarkan fahamnya apalagi membuat pendekatan dengan raja-raja muslimin agar mengantikan semua mazhab dengan mazhabnya. 

Hal ini sangat bertolak belakang setelah muncul  faham yang melabelkan kelompok mereka Cinta Sunnah, Pemurnian Tauhid, Kembali ke Alquran dan Sunnah dan slogan-slogan lain yang bersifat memikat calon pengikut baru. Namun hakikatnya tetap sama, yakni pendoktrian atau pemaksaan kehendak agar semua ummat Islam ikut sekte mereka.

Benih  Perpecahan di Aceh.

Aceh Darurat Aqidah. Kata tersebut sangat cocok dengan kondisi Aceh akhir-akhir ini. Dimana Pemerintah baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota sedang  demam atau bereuforia ulama Timur Tengah mulai dari pendai’i, qari, pengisi seminar dan imam semua diborong atau menerima tanpa sikap selektif sedikitpun terhadap manfaat dan mudharat dari mengundang mereka. 

Memang banyak juga ulama-ulama dari Timur Tengah yang bersifat tawashut (moderat) namun perlu diketahui Kerajaan Arab Saudi sangat selektif menjaga faham masyarakatnya agar tidak terkontaminasi dengan ajaran yang dianggap menyimpang oleh kerajaan. Seperti dilarang mengajar, mencetak dan menjual kitab tasawuf. Dihancurkan situs sejarah nabi-nabi dan para sahabat karena ditakutkan akan terjatuh dalam kesyirikan versi mereka.

Karena pemaksaan kehendak agar semua muslim di dunia mesti ikut pendapat para ulama Saudi, maka terlihat sekarang kerajaan Saudi atau Negara Islam lain yang sudah menganut faham Salafi Wahaby membagikan ajaran Tauhid/Aqidah ke seluruh jamaah haji Indonesia, membuat Maktabah Syamilah (Program Pustaka digital), mendirikan sekolah-sekolah, pesantren dan universitas yang tujuan utamanya adalah menyebarkan faham Muhammad bin Abdul Wahab.

Sikap Ulama Aswaja

Munculnya golongan yang sering mendakwakan dirinya sebagai generasi pecinta sunnah sebenarnya tidak menjadi sebuah permasalahan dalam dunia Islam. Selama meraka masih mengikuti para salafus shalih dalam menyikapi perbedaan pendapat. Jika mereka berbeda pendapat dengan ummat Islam lain, silahkan. Itu hak mereka. Tapi jangan menyesatkan dan membid’ahkan orang lain yang tidak segolongan.

Klimaksnya terlihat aneh, ulah kaum yang mengaku Tauhid termurni di bawah kolom dunia ini.  Mereka tidak mengetahui mana khilafiyah ijtihadiyah furuiyyah dan yang mana ushuli. Sehingga terlihat lucu. Masak orang Mualidan, Yasinan dan Tahlilan dianggap syirik. Padahal itu masalah furuiyyah. 

Namun mereka lupa masalah aqidah, menyamakan Allah dengan makhluk, Allah berwajah, Allah punya tangan, Allah turun dari langit pada sepertiga malam dan Allah duduk bersela di atas Arasy.

Talfiq (Oplos) Mazhab

Seandainya pintu talfiq ini dibuka lebar, maka sangat dikhawatirkan terjadi kerusakan yang besar di dalam tubuh syariat Islam dan hancurnya berbagai mazhab ulama yang telah dengan susah payah dibangun dengan ijtihad, ilmu dan sepenuh kemampuan.

Sebab talfiq itu menurut mereka tidak lain pada hakikatnya adalah semacam kanibalisasi mazhab-mazhab yang sudah paten, sehingga kalau mazhab-mazhab itu dioplos-ulang, maka dengan sendirinya semua mazhab itu akan hancur lebur. Kalau mazhab-mazhab yang sudah muktamad sepanjang 14 abad itu dihancurkan, sama saja dengan meruntuhkan seluruh bangunan syariah Islamiyah, (Ahmad Sarwat).

Para muhadditsin sekliber Imam Bukhari dan Imam Muslim saja ikut mazhab. Tidak talfiq (mengaplos mazhab) padahal kitab mereka sudah dianggap kitab kedua setelah alquran. Jadi kalau ada intelektual muslim akhir-akhir ini  sangat bernapsu menjadi mujtahid namun tidak didukung oleh ilmu yang cukup akhirnya mengambil jalan pintas comat-camit  dari berbagai mazhab kemudian memilih mana yang kuat menurut analisa sang intelek tersebut. Golongan seperti ini bisa kita sebut nafsu besar ilmu kurang. Padahal Imam Bukhari bukan hanya unggul dalam hal ingatan namun  beliau juga seorang ulama besar dan ahli fiqh tapi beliau tetap bermazhab dan  tidak talfiq mazhab.

Kesimpulan
Jika diamati dari sejumlah sumber perpecahan ummat Islam berada di titik ijtihad. Sejak Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah sampai saat ini titik fokus pertikaian disebabkan karena perbedaan pendapat hasil ijtihad. Jika demekian adanya, jurus pemungkas yang digunakan oleh para Imam Mujtahid sangat ampuh untuk menghentikan perpecahan yang terus mengkristal. Bahkan para mujtahid saling memuji antar sesasama, Seperti imam Malik memuji kepakaran Imam Syafi’i.

Jadi, kesalahan yang bertubi-tubi jika penyebabnya bermula dari perbedaan pendapat sebagaiman narit madja Aceh “Abeh batree Bak peubulat sentee” Habis energi/baterai karena menyetel senter. Maka segera rapatkan barisan ikuti jejak para salafus shalih sebagaimana yang diuatarakan oleh syaikh Hasan Al Banna “Saling bekerjasama dalam perkara yang disepakati dan saling toleran/memaafkan dalam perkara yang diperselisihkan”. 

Semoga tulisan ringkas ini menjadi penawar bagi penyakit ummat Islam yang sudah mulai menggrogoti ukhwah islamiyah di Aceh dewasa ini.

Penulis Adalah Ketua Umum DPP ISAD ACEH dan Guru Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Krueng Kalee

Also Read

Tags

Tinggalkan komentar